Dengan
budaya peradaban dibangun dengan dua tahap. Tahap pertama tahap konstruk di
alam pikiran. Tahap kedua adalah tahap kerja, dimana konstruk tersebut diobjektivikasi
lewat kerja nyata melalui interaksi dengan alam riil.
Uniknya, dalam proses itu
manusia tidak bisa menciptakan sesuatu yang sama sekali baru dari sesuatu yang
sudah ada sebelumnya. Budaya berkembang dengan cara penyempurnaan berkelanjutan.
Setelahnya akal pikiran berperan dalam invensi. Jadi peradaban terlepas dari
apa konfigurasi budayanya, merupakan hasil dari olah pikir yang berantai.
Apa
yang kita ketahui di dunia merupakan ide yang dicerna indera. Ide merupakan
fundamen atas apa yang nyata. Ide merupakan hal yang luhur. Kuda yang saat ini
kita lihat hanyalah bayangan atau rekaan atas ide kuda yang sebenarnya—indera menangkap
bayangan itu seolah nyata. Bahkan buah mangga pun tidak meminta dirinya
dinamakan buah mangga oleh manusia. Ide yang menuntun manusia untuk melkukan
penamaan terhadap benda-benda.
Manusia
dilahirkan kedunia dalam keadaan ‘amnesia’. Dengan bekal akal, manusia
berpotensi mendapatkan kembali ingatannya akan realitas transenden yang hakiki.
Semua yang kita tahu—lewat, dari dan dengan
metodologi penelitian berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang kini dikembangkan untuk mencari kebenaran, itu merupakan langkah dan proses manusia dalam
mengingat apa yang sebelumnya sudah diketahui oleh manusia dalam dunia ide. Sebuah proses pengembaraan intelektual.
Semakin tinggi peradaban, semakin tinggi
manusia mengenali esensinya. Contoh sederhana dan berbahaya dalam proses mengingat
dunia ide adalah imajinasi. Sekali waktu kita bisa megingat hal baik, di lain tempat kita juga mungkin tersesat.
Satu-satunya
produk masyarakat yang cukup moderat dalam mengendalikan imajinasi hanyalah
moralitas. Moralitas juga berhadapan dengan situasi geografis dan
sosio-kultural. Dengan komposisi itu, moralitas bersifat relatif antar suatu
tempat. Modernitas menuntut segala pekerjaan dituntut secara efektif dan efisien. Masyarakat industri melahirkan berbagai jenis pekerjaan yang terspesialisasi. Moralitas spesifik diperlukan untuk membimbing perbuatan manusia dalam konteks bekerja yang baik sesuai martabat kemanusiaan. Moralitas jenis itu melahirkan etika profesi.
Dalam
upaya ‘pemulihan’ ingatan atas ide transenden, manusia berhadapan langsung
dengan manusia—perbedaan kepentingan melahirkan konflik tak berkesudahan. Imajinasi
merupakan anugerah, sekaligus sumber petaka bagi proses ‘mengingat’. Celah-celahnya
dimanfaatkan kalangan kapital untuk dieksplotiasi lewat teknik-teknik marketing. Hasrat ingin dihormati melahirkan konsumsi atas brand megah. Nafsu ingin makan melahirkan industri pangan mewah. Begitu seterusnya.
Negara bukan jawaban satu-satunya atas
kebenaran jalinan sosial yang selama ini umat manusia coba temukan model
terbaiknya lewat disiplin praktis politik. Media massa sampai institusi
negara melakukan mekanisme kontrol terhadap imajinasi kolektif masyarakat.
Lebih jauh dari itu, kejernihan imajinasi yang
intelek merupakan salah satu jalan dari ribuan jalan yang mungkin untuk menuju
kemurnian pengetahuan bagi yang haus akan hakikat eksistensi. Berbahayakah?
Pikirkan.

Komentar
Posting Komentar