Manusia dan Belenggu Objektivikasi



Hidup di dunia, apakah begitu penting untuk mengetahui apa arti hidup? Mengapa kita hidup? Untuk apa kita hidup? Dan bagaimana mestinya kita hidup? Sebab, jika sampai mati kita belum mengetahui jawaban pertanyaan diatas, kita hidup hanya mengulang “sejarah” orang-orang yang saat ini telah mati. Bagai orang yang berdiri ditengah perpustakaan super, namun tak menyentuh buku  juga pikiran orang dari 2000 tahun lalu, itulah manusia yang tak mengenal kehidupan. Terombang-ambing dalam peluh kehidupan. Untuk mengenal orang lain kita hanya perlu lima menit observasi, sementara untuk mengenali diri sendiri dalam hidup, sampai matilah baru tau apa dan siapa diri sendiri. Seperti kata Jean Sartre, filsuf eksistensialis Prancis, bagi manusia, eksistensi mendahului esensi.

Apa itu manusia? Apakah sama dengan tumbuhan? Atau hewan? Karena secara kimia dan fisika otak manusia sama seperti kerbau[i]. Jika ingin menelaah lebih jauh dari itu, yang membedakan manusia dengan hewan sebagai spesies adalah kerja dalam konteks sifat dasar manusia, yaitu kerja. Proses kreasi kerja manusia merupakan usaha untuk mewujudkan suatu hal di dalam realitas yang sebelumnya hanya ada di dalam realitas abstrak yang bernama imajinasi[ii]Kerja sebagai kegiatan produktif manusia ternyata mempunyai akibat yang paradox dan ironis, sebab hasil produksi menggunakan tenaga dan daya kreatif manusia membuat produk yang dihasilkan memiliki sifat sebagai benda obyektif dan terlepas dari manusia yang membuatnya, maka produk yang dihasilkan itu mewujudkan sebagian dari hakikat manusia[iii] akibat adanya objektivikasi.

Proses produksi membuat sebagian hakikat manusia ditransfer dari dunia ide ke dunia material. Lewat objektivikasi manusia tak sadar menyesuaikan diri dengan ciptaanya sendiri. Dengan kata lain, manusia membuat rantai yang mengikat dirinya sendiri. Meminjam bahasa Marxisme, manusia teralienasi dari proses produksinya sendiri yang merupakan tujuannya. Hal ini menunjukan bahwa manusia berusaha untuk melepaskan dan atau membebaskan hakikatnya ke dunia riil untuk memenuhi kebutuhannya. Jiwa manusia mendambakan penguasaan atas materiil.

Manusia adalah kumpulan ide-ide yang terwujud dalam jasad materil. Berkuasa atas ide namun tak berdaya atas materiil. Secara transendental, jiwa manusia mendambakan penguasaan atas hakikat dirinya yang telah terlepas dari dirinya di dalam dunia materiil yang menopang hidup secara inheren dengan hakikat dirinya, yang sebelumnya merupakan hakikat dirinya yang berada dalam dunia imajinasi.


[i]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (PT Pancaranintan Indahgraha, Jakarta, 2007)
[ii]George Ritzer, Sociological Theory (McGraw-Hill, New York, 2004)
[iii] Doyle Paul Johnson, Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspective (University of South Florida: John Wiley & Sons, inc 1981)

Komentar