Kudhi Banyumasan dan Objektivikasi Nilai Budaya



Masyarakat Banyumas sering menggunakan kudhi dalam kesehariannya sebagai alat memotong layaknya golok atau parang bagi komunitasnya terutama masyarakat di wilayah perdesaan.

Kudi sebagai alat memotong merupakan bagian dari budaya universal, yaitu elemen sistem peralatan hidup dan teknologi benda hasil karya manusia berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas perbuatan karya manusia dan masyarakat, yang dapat dilihat, diraba dan di foto[1]

Benda budaya merupakan objektivikasi nilai sosial. Sebagai hasil kreasi atas ide dalam pikiran manusia, melalui objektivikasi, Kudi memuat nilai-nilai budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, Kudi lebih dari sekedar alat untuk memotong. Benda budaya selalu hasil produksi manusia yang merefleksikan seperti apa tujuannya—membangun suatu relasi yang esensial antara kebutuhan dasar manusia dengan objek-objek material kebutuhannya. Proses tersebut merupakan fungsi transformasi dari sifat dasar manusia yang menciptakannya[2].


Secara morfologi, kudi sebagai alat untuk memotong hanya memiliki satu sisi tajam, sangat khas namun memiliki kemiripan dengan kujang khas Jawa Barat namun ukurannya lebih besar dan panjang. Kemiripan bentuk atas keduanya, merupakan akulturasi dari dua kebudayaan yang berbeda yakni Jawa dan Sunda, sebab secara geografis letak Karesidenan Banyumas di dekat perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat. Adanya interaksi budaya antara Jawa-Sunda merupakan efek alamiah evolusi budaya.

Sebagai hasil objektivikasi, kudi memuat nilai-nilai budaya masyarakatnya—konsep mengenai sesuatu dalam pikiran sebagian besar dari masyarakatnya, yang mereka anggap bernilai, penting dan berharga dan dijadikan pedoman hidup masyarakat yang menciptakannya[3].

Bentuk yang khas dari kudi, dibuat agar kudi memiliki beragam fungsi. Bagian bawah yang menyerupai setengah lingkaran dan menggelembung berfungsi untuk membela benda keras seperti kayu, fungsi lekukanya di antara sisi yang menggelembung di buat untuk menghaluskan benda seperti bambu. 

Ujungnya yang tajam dan lancip di gunakan untuk mencongkel dan membuat lubang. Bagian punggung yang cukup tebal di gunakan untuk memukul benda keras, sehingga memiliki fungsi palu. Sebagai alat memotong, kudi adalah alat yang multifungsi jika dibandingkan dengan alat sejenisnya. Hal ini merupakan cerminan sifat darimasyarakat Banyumas yang fleksibel dan simple dalam berbagai hal, seperti mengerjakan dan melakukan sesuatu, karena hal ini melekat pada alat penopang pekerjaan.

Kudi juga melekat dengan ketoprak Banyumasan dan wayang jemblung[4]. Lebih jauh dari fungsinya secara substantif, bagian ujung dari kudi adalah nilai egalitarian, dimana sikap menghargai sesuatu yang berbeda sangat di junjung tinggi oleh masyarakat Banyumas, terlebih dalam melihat kebudayaan yang lain.

Bagian perut yang menonjol menunjukan bahwa manusia hidup bukan untuk nafsu melainkan bekerja dan berusaha—bagian perut kudi yang mampu melakukan pekerjaan berat yakni memotong benda yang cukup berat, lalu karah sebagai symbol bahwa penampilan bukan acuan untuk menilai orang—tidak semua karah yang berukir dan bagus memiliki sisi yang tajam, dan gagang yang besa rmerupakan visi bahwa masyarakat Banyumas dalam menyikapi hidup harus memiliki pegangan dankeyakinan yang jelas dan besar.

Bahkan dalam pencarian city branding kudi akan dilombakan untuk mewakili logo entitas masyarakat Banyumas. Pengamat branding kota-kota yang juga dosen Fisipol Unsoed Purwokerto, Drs Dodit Bambang Widodo MSi, mengatakan pemenang lomba haruslah yang menemukan frasa branding yang mencerminkan kekhasan Banyumas secara umum. Begitu juga logo Banyumas seperti apa yang menang lomba juga harus diberi ukuran yang jelas.

"Yang jadi pemenang tidak mungkin yang menemukan frasa tetapi hanya mewakili kekhasan kulinerBanyumas saja.Misalnya adaf rasa 'Banyumas Satria Berkudi'. Ini menarik, karena masyarakat Banyumas memang terkenal kesatria, dan ciri khas senjata milik masyarakat Banyumas adalah kudi, yakni senjata mirip parang tetapi amat gendut bentuknya”[5]

Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dan masyarakat, namun hal itu bersifat umum, memiliki lingkup yang sangat luas serta sulit diterangkan dengan rasional dan nyata. Karena sifatnya yang abstrak, hal tersebut berada dalam daerah emosional dari jiwa para individu yang menjadi warga dan kebudayaan bersangkutan.







[1]Koentjaraningrat, 2009.Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta; RinekaCipta.
[2] George Ritzer, 2004. Sociological Theory.New York; McGraw-Hill. Hlm.53
[3]Koentjaraningrat, op.cit. hlm.153
[4]http://www.visitbanyumas.com/seni-budaya-banyumas/item/kudhi_banyumasan
[5]http://krjogja.com/read/249113/city-branding-banyumas-bakal-dilombakan.kr

Komentar