Bangsa Kuli dan Superman



Bangsa kuli adalah bangsa yang rela melakukan apapun asal di bayar.

Kini, di negeri ini, banyak contoh yang seperti itu. Mulai dari pejabat yang rela melanggar etik untuk korupsi demi uang, sampai ke artis acara televisi picisan yang rela mencaci, menghina penonton (yang juga rela diperlakukan demkian asal di bayar) asal dapat duit. Mentalitas tadi merupakan turunan dari sindrom inferior sebagai bangsa bekas jajahan.

Sifat mengagungkan apapun yang kebarat-baratan (berbau luar negeri) merupakan contoh nyata bahwa bangsa kita mengalami krisis kepercayaan diri--merasa rendah apabila berhadapan dengan bangsa-bangsa lain. Akibatnya, muncul weltanschauung yang melahirkan pesimisme kolektif pada diri sendiri, pada bangsa sendiri.

Krisis kepercayaan diri akut tadi membuat suatu fenomena yang ironi, dimana banyak sektor strategis negara, seperti kekayaan alam diserahkan pada asing untuk dikelola, dengan asumsi bangsa kita tak becus mengurus. Ada benarnya, namun sangat keliru, mengapa? Fenomena larinya manusia-manusia berkualitas Indonesia ke negeri orang untuk berbakti merupakan bentuk kecewanya mereka karena keengganan bangsa sendiri untuk memberi mereka amanah mengelola pos-pos strategis. Penguasa politik di Indonesia lebih percaya pada kemampuan asing. Contoh lain, bule-bule yang bekerja di Indonesia (skilled labour) akan mendapat penghasilan lebib tinggi ketimbang orang pribumi karena (katanya) pertimbangan profesionalitas.

Padahal secara kualitas banyak juga orang kita yang kompeten.

Tidak kalah menyakitkannya dengan yang diatas, yaitu tren acara televisi Indonesia dalam hal mengundang artis asing (India, Korea, Turki, Etc) sampai tren pernikahan artis kita dengan orang asing.

Tidak ada yang salah dengan itu. Tapi akan menjadi keliru apabila ada asumsi perbandingan. Seperti, alasan banyak artis menikah dengan orang asing sebagai bentuk perbaikan keturunan. Luar biasa mentalitas orang kita. Pernyataan itu sangat menyakitkan telinga. Seakan-akan gen manusia Indonesia (pria atau wanita) adalah gen yang rusak, srhingga perlu diperbaiki. Asumsi yang menjijikan. Ironis, dimana keturunan bekas budak (bekas jajahan) jatuh cinta pada mantan majikan yang menawan (bekas penjajah).

Mentalitas inlander.

Bukan berarti saya anti-barat. Kebutaan terhadap budaya sendiri yang perlu di benahi. Untuk itu, mari generasi muda ayo kita ciptakan kebanggaan diri. Saya jadi teringat terminologi Nietzsche mengenai ras unggul atau Ubermensch. Ras dikatakan unggul apabila memiliki tiga dimensi sosial yang dikembangkan secara simultan, yaitu kecerdasan, kebanggan dan kekuatan. Indonesia perlu mengembangkan konfigurasi dari ketiga dimensi tadi sesuai dengan geopolitiknya agar dapat menjadi aktor di negeri sendiri, bukan menjadi penonton di tengah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Semoga kita bisa mengambil peran untuk mewujudkannya. 

Komentar